Assalamu'alaikum!

Blog Sunnah

"Memurnikan Aqidah, Menebarkan Sunnah".

Looking for something?

Subscribe to this blog!

Receive the latest posts by email. Just enter your email below if you want to subscribe!

Thursday, March 23, 2017

Siapa yang Dijadikan Rujukan ? - Bagian 2

Apa yang telah dijelaskan oleh para ulama (dalam edisi 1) diatas telah dikuatkan pula oleh Allah dalam banyak firman-Nya, diantaranya:

1. Allah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." (QS. Al-Anbiya' : 7 dan An-Nahl : 43)

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di rahimahullahu berkata tentang ayat ini: Keumuman ayat ini menjelaskan akan pujian terhadap para ahli ilmu dan yang tertinggi adalah ilmu tentang Al-Qur'an, karena Allah memerintahkan kepada yang tidak tahu untuk kembali kepada para ahli ilmu/ulama dalam setiap kejadian. Hal ini juga mengandung pengertian akan adanya rekomendasi bagi para ulama yang dijadikan sebagai rujukan dalam bertanya. Dan orang jahil tidak termasuk dalam hal ini. Beliau juga mengatakan: Di dalam pengkhususan bertanya hanya kepada para ahli ilmu terdapat larangan untuk bertanya kepada orang yang sudah terkenal akan kebodohannya…" (Tafsir Al-Kariimir Rahman hal.511 dan 605)

Jadi siapa saja yang bisa dikategorikan sebagai ulama (bukan orang jahil yang ngelama’) maka merekalah tempat rujukan dalam agama baik dikala perpecahan maupun tidak. Yaitu mereka yang paham benar Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih. Dan tidak ada dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah pengkhususan tempat rujukan haruslah ulama yang pernah turun di medan perang. Seandainya yang mereka ucapkan itu benar, maka berapa banyak ulama yang tidak layak untuk dijadikan rujukan? Apakah semua Imam empat pernah turun di medan jihad mengangkat senjata? Apakah Imam Bukhari, Muslim dan yang lainnya layak dijadikan rujukan dalam agama dikala perselisihan (terutama masalah jihad) sedang mereka tidak pernah turun di medan perang mengangkat senjata? Di kalangan para sahabat yang paling terkenal dengan jihadnya di medan perang adalah Khalid bin Walid radhiyallahu anhu, tapi apakah para salaf dahulu lebih mendahulukan beliau dalam masalah agama daripada Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma yang termasuk 7 sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan hadits?

2. Allah berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri (ulama) diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." (QS. An-Nisa' : 83)
Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata: “mengetahuinya dari mereka” yaitu para ulama. [4]

3. Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa' : 59)

Ibnu Abbas berkata: yang dimaksud (ulil amri) adalah para ahli ilmu agama, yang selalu taat kepada Allah dan mengajarkan manusia ilmu agama. Yang amar ma'ruf serta nahi mungkar. Allah pun mewajibkan para hamba untuk menaati mereka. (Lihat Tafsir Thabari 5/149)

Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: yang nampak –wallahu a'lam- bahwa makna ulil amri mencakup umara'/pemimpin maupun ulama. (Tafsir Al-Qur'anil Adzim 1/518).

Dan masih banyak lagi nash-nash atau ucapan salaf yang menjelaskan tingginya martabat dan kedudukan para ulama dan kewajiban untuk kembali kepada mereka dalam setiap keadaan dan tidak harus yang turun di medan perang. [5]

Sekali lagi, yang dimaksud oleh para ulama salaf dalam ucapan mereka "Apabila engkau melihat manusia sudah berselisih maka kembalilah engkau kepada para mujahidin dan ahli tsughur, karena kebenaran ada bersama mereka" adalah para ulama ahlussunnah wal jama’ah yang darah dan daging mereka menyatu dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta pemahaman salafush shalih.

Kesalahan mereka (para aktivis harakah) ini timbul akibat penuhnya otak mereka dengan semangat yang membara untuk mengangkat senjata, namun tidak diiringi oleh ilmu dan pemahaman agama yang benar serta salahnya mereka dalam mencari rujukan (ulama) dalam agama ini.

Oleh karena itu, kami nasihatkan dari lubuk hati yang terdalam kepada mereka yang telah terjerumus ke dalam jaring-jaring terorisme, gerakan bawah tanah, aktivis harakah untuk takut kepada Allah dan agar belajar lebih dalam tentang Islam dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman salaf (bukan Khawarij). Dan untuk mereka kembali kepada aqidah serta manhaj para ulama semisal Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Muqbil bin Hadi –rahimahumullahu-, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh dan selain mereka dari ulama ahlussunnah wal jama’ah. Ini semua agar mereka bisa membedakan mana jihad yang syar’i dan jihad yang bid’ah, jihad yang murni dan jihad yang palsu, siapa itu mujahid sejati dan siapa teroris?

Akhirnya, saya tutup dengan ucapan ulama salaf yang bernama Imam Al-Barbahari rahimahullahu: Perhatikanlah (Wahai saudaraku) –rahimakallahu- setiap orang yang engkau dengar ucapannya, khususnya dari orang-orang yang sezaman denganmu. Janganlah engkau tergesa-gesa menerimanya hingga engkau melihat, apakah ada seorang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau seorang ulama yang berbicara seperti itu. [6]

SELESAI.
---------------------------
[4] Tafsir Al-Baghawi hal.321.


[5] Coba lihat "Qawaa'id fit ta'aamul ma'al ulama'" oleh Syaikh Abdurrahman bin Mu'alla Al-Luwaihiq –hafidzahullahu-.


[6] Syarhus Sunnah hal.69.



Penulis : Ustadz. Abdurrahman Thoyyib, Lc

Wednesday, March 22, 2017

Siapa yang Dijadikan Rujukan ? - Bagian 1

Beberapa kali dilontarkan kepada kami sebuah syubhat (kerancuan) dari para aktivis harakah atau takfiriyyin (tukang mengkafirkan kaum muslimin tanpa haq) yang selalu mengembar-gemborkan jihad dengan senjata melawan Amerika dan sekutu-sekutunya serta untuk memberontak pemerintah kaum muslimin. Syubhat yang mereka kira sebuah dalil qath'i yang setara dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, bahkan mungkin lebih dari itu. Mereka menyebarkan syubhat ini untuk menguatkan ambisi mereka mengajak umat berbondong-bondong keluar berjihad dengan senjata mengikuti pemimpin-peminpin gerakan bawah tanah mereka, tanpa mau menoleh lagi kepada para ulama yang darah dan dagingnya bersatu dengan ilmu agama ini. Bahkan mereka tidak segan-segan lagi menuding para ulama rabbaniyyin sebagai antek-antek yahudi dan menuduh para pembawa bendera syariat, pewaris para nabi sebagai penggembos jihad.

كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا

"Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta." (QS. Al-Kahfi : 5).

Syubhat yang selalu mereka bawa adalah ucapan ulama salaf yang mereka tidak memahaminya dengan benar, yang mereka anggap dapat menguatkan pemikiran sesat mereka. Memang begitulah adat dan kebiasaan ahlul bid'ah dan kelompok-kelompok sesat, mereka mengambil dalil yang sekiranya (secara sepintas) bisa melegalkan kesesatan mereka, tapi meninggalkan dalil-dalil yang lebih jelas dari matahari di siang bolong. Simaklah kerancuan mereka dan jawaban kami berikut ini dengan mata dan hati yang terbuka, Semoga Allah menguatkan yang hak dan membasmi yang batil.

✔ Syubhat:

Kita harus kembali kepada para mujahid yang turun di medan perang dalam permasalahan agama bukan kepada para ulama yang hanya bisa berfatwa di masjid-masjid, karena ulama salaf seperti Abdullah bin Mubarak, Ahmad bin Hambal dan Sufyan bin 'Uyainah rahimahumullahu pernah berkata:

إِذَا رَأَيت النَاسَ قَد اختَلَفُوا فَعَلَيكَ بِالمُجَاهِدين وَ أَهلِ الثُغُورِ فَإِنَّ الحَقَّ مَعَهم لأنّ الله يقول :
“وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا”

"Apabila engkau melihat manusia sudah berselisih maka kembalilah engkau kepada para mujahidin dan ahli tsughur, karena kebenaran ada bersama mereka. Allah ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. Al-Ankabut : 69) 
(Lihat "Majmu' fatawa" oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu 28/442 dan tafsir Al-Qurthubi 13/325 tentang ayat diatas).

✔ Bantahan:

Secara sepintas orang yang membaca dan mendengar syubhat mereka ini akan takjub dan mengacungkan jempol. Tapi marilah kita cermati bersama apa maksud ucapan ulama salaf tersebut. Apakah yang dimaksud dengan mujahidin dan ahli tsughur? Dan bagaimana penafsiran para ulama tafsir tentang ayat diatas? Apakah sesuai dengan yang mereka inginkan? Inilah jawabannya:

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika membawakan ucapan Abdullah bin Mubarak dan Imam Ahmad serta Sufyan bin 'Uyainah tersebut, dalam rangka pembahasan masalah tawakkal dan sabar yang amat dibutuhkan oleh setiap orang, terutama bagi yang ingin berjihad (mengangkat senjata). Kedua hal tersebut termasuk dalam bagian jihadnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya. Inilah teks ucapan beliau:

Allah ta'ala berfirman:

وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا(2)وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا

"Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara." (QS. Al-Ahzab : 2-3)

Allah memerintahkan untuk mengikuti apa yang telah diwahyukan-Nya dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah dan agar bertawakkal kepada-Nya. Yang pertama berkaitan dengan 
[ إِيَّاكَ نَعْبُد] "hanya kepada Engkaulah kami beribadah" dan yang kedua berkaitan dengan [وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين] ”hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". 
Hal ini serupa dengan ayat yang lainnya [فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ] "Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya" (QS.Huud : 123) dan [عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ] Artinya : "Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali." (QS. Huud : 88).

Hal ini meskipun diperintahkan dalam segala keadaan, namun hal tersebut lebih ditekankan lagi pada waktu jihad untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik. Dan hal tersebut tidak bisa sempurna kecuali dengan pertolongan (kekuatan) dari Allah. Oleh karenanya, jihad merupakan tulang punggung ibadah yang terkumpul di dalamnya semua puncak amal perbuatan. Di dalamnya juga terdapat puncak kecintaaan (kepada Allah-pent), sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta'ala:

فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

"Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kau yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela." (QS. Al-Maidah : 54).

Di dalamnya juga terdapat puncak tawakkal dan kesabaran, karena seorang yang berjihad adalah orang yang paling membutuhkan kesabaran dan tawakkal. Oleh karena itu Allah berfirman: 

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ(41)الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal." (QS. An-Nahl : 41-42)

قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

"Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". (QS. Al-A'raaf : 128)

Oleh karena itulah, kesabaran dan keyakinan yang merupakan dasal tawakkal mengharuskan terciptanya kepemimpinan dalam agama, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. " (QS. As-Sajdah : 24)

Dan oleh karenanya, jihad menghasilkan hidayah yang meliputi segala pintu ilmu, seperti yang telah Allah firmankan: 

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS.Al-Ankabut : 69).

Karenanyalah, berkata dua orang imam Abdullah bin Mubarak dan Ahmad bin Hambal dan selain keduanya: Apabila manusia berselisih dalam suatu perkara maka kembalilah engkau kepada ahli tsughur, karena kebenaran ada bersama mereka. Allah ta'ala berfirman yang artinya "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. Al-Ankabut : 69)
(Lihat "Majmu' fatawa" 28/441-442)

Dari ucapan Syaikhul Islam ini ada beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran berharga, diantaranya: 

A. Wajibnya mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam segala keadaan.
B. Wajibnya bertawakkal kepada Allah dan menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya.
C. Wajibnya melewati tahapan-tahapan jihad sebelum tahapan jihad melawan orang-orang kafir dengan senjata, seperti tawakkal dan sabar yang merupakan jihad terhadap hawa nafsu yang terbagi menjadi empat tingkatan, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnul Qayyim. 

Maka jelas bagi kita, bahwa yang dimaksudkan oleh para ulama salaf tersebut dengan ucapan mereka "Apabila engkau melihat manusia sudah berselisih maka kembalilah engkau kepada para mujahidin dan ahli tsughur…." adalah orang-orang yang telah sukses melewati tahapan-tahapan jihad (jihad melawan hawa nafsu) yaitu para ulama Rabbaniyyin dan bukan orang-orang yang di medan perang seperti anggapan mereka, sebagaimana hal ini dikuatkan oleh ucapan-ucapan para ulama lainnya. Berikut ini ucapan-ucapan mereka rahimahumullahu:

1. Imam Qurthubi ketika mentafsirkan ayat 69 dalam surat Al-Ankabut diatas berkata: "Maksudnya memerangi orang-orang kafir [1] di jalan kami, yaitu dalam mencari keridhaan kami.

- As-Sudi dan selainnya berkata: Ayat ini turun sebelum turunnya kewajiban berperang (mengangkat senjata). 

- Ibnu Athiyah berkata: Ayat ini turun sebelum adanya jihad (mengangkat senjata), dan sebenarnya ayat ini umum mencakup semua bidang agama Allah dan dalam mencari keridhaan-Nya.

- Hasan bin Abil Hasan berkata: Ayat ini untuk ahli ibadah. 

- Ibnu Abbas dan Ibrahim bin Adham [2] berkata: Ayat ini diperuntukkan bagi mereka yang beramal dengan ilmu.

- Abu Sulaiman Ad-Daaraani berkata: Jihad yang dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah perang melawan orang-orang kafir saja, tapi maksudnya menolong agama, membantah orang-orang yang batil/sesat, membasmi orang-orang yang zalim dan puncaknya adalah amar ma'ruf nahi munkar. Dan termasuk juga, melawan hawa nafsu dalam menaati Allah yang merupakan jihad terbesar. [3]

2. Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir rahimahullahu tentang ayat tersebut: Mereka adalah orang-orang yang beramal dengan ilmu, maka Allah memberi hidayah kepada mereka terhadap hal yang tidak mereka ketahui. Abu Sulaiman Ad-Daaraani berkata: Tidak selayaknya bagi yang diberi ilham akan suatu kebaikan untuk dia mengamalkannya sampai dia mendengar atsar (riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau para salaf-pent). Jika dia sudah mendengar atsar, maka bolehlah dia mengamalkannya dan memuji Allah, sehingga hal tersebut mencocoki apa yang ada dalam dirinya" (Tafsir Qur'anil 'Adzim 3/555).

3. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di rahimahullahu berkata tentang tafsir ayat diatas: Mereka adalah orang-orang yang berhijrah di jalan Allah dan memerangi musuh-musuh-Nya serta mengerahkan segala kekuatan untuk mencari keridhaan-Nya.
Dan beliau berkata: Ayat ini menunjukkan bahwa manusia yang lebih berhak dengan kebenaran adalah ahli jihad. Ayat ini juga menjelaskan bahwa barangsiapa yang melaksanakan perintah Allah dengan baik, maka Allah akan menolong dan memudahkan jalannya mendapat hidayah. Dan ayat ini juga menerangkan bahwa barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama, maka dia akan mendapatkan hidayah serta pertolongan dalam menggapai harapannya yang diluar kekuatannya serta dipermudah mendapatkan ilmu. Karena sesungguhnya menuntut ilmu agama termasuk jihad fii sabilillah, bahkan dia termasuk salah satu bentuk jihad yang tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh orang-orang khusus. Bentuk-bentuk jihad itu adalah jihad dengan ucapan lisan melawan orang-orang kafir dan munafik, serta jihad dalam mengajarkan ilmu agama serta membantah orang-orang yang menyelisihi kebenaran meskipun mereka adalah kaum muslimin." (Tafsir Al-kariimir Rahman hal.747)

4. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-'Abbad –hafidzahullahu- berkata: Jihad melawan hawa nafsu merupakan pondasi jihad yang dengannya seorang hamba bisa menggapai hidayah dan bisa menang terhadap para musuh. Allah ta'ala berfirman: 

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. Al-Ankabut : 69).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Allah ta'ala mengkaitkan hidayah dengan jihad, maka orang yang sempurna hidayahnya adalah yang paling sempurna jihadnya. Jihad yang paling wajib adalah jihad melawan diri sendiri, hawa nafsu, setan dan dunia. Barangsiapa yang berjihad diatas empat tahapan ini karena Allah, maka Allah akan memberinya hidayah untuk mencapai keridhaan-Nya hingga sampai ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad maka sirnalah hidayah sesuai dengan kadarnya.

Berkata Junaid: Dan orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya di jalan Kami dengan bertaubat, maka sungguh Kami akan menunjukkan jalan-jalan keikhlasan. (Al-Fawaaid hal.109 dan Al-quthuuful jiyaad min hikami wa ahkaamil jihaad hal.8)

BERSAMBUNG..
----------------------------
[1] Dan memerangi orang kafir itu bukan hanya dengan senjata tapi juga dengan ilmu dan hujjah sebagaimana yang difirmankan Allah ta'ala:
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
"Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya (Al Qur'an) dengan jihad yang besar. " (QS.Al-Furqon : 52)

Ibnu Abbas berkata: "dengan Al-Qur'an" seperti yang dinukilkan oleh Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya. Dan dari ucapan Ibnu Athiyah diatas jelaslah kesalahan sebagian orang yang memahami setiap kata "Jihad" dalam nash-nash syariat dengan jihad mengangkat senjata.

[2] Ucapan mereka ini juga dinukil oleh Imam Asy-Syaukani dalam fathul Qadir 4/279.

[3] Ucapan ini menguatkan apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim tentang tahapan-tahapan jihad di awal kitab beliau Zaadul Ma’aad jilid 3.


Penulis : Ustadz. Abdurrahman Thoyyib, Lc

Thursday, March 16, 2017

Mengapa Harus Salafi ? - Bagian 4

✔ Ciri-ciri Salafi Sejati:

1. Menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup dalam semua bidang kehidupan.

2. Memahami agama ini sesuai dengan pemahaman para sahabat terutama dalam masalah aqidah.

3. Tidak menjadikan akal sebagai landasan utama dalam beraqidah.

4. Senantiasa mengutamakan dakwah kepada tauhid ibadah. [23]

5. Tidak berdebat kusir dengan ahli bid'ah serta tidak bermajlis dan tidak menimba ilmu dari mereka.

6. Berantusias untuk menjaga persatuan kaum muslimin serta menyatukan mereka diatas Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih.

7. Menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bidang ibadah, akhlak dan dalam segala bidang kehidupan.

8. Tidak fanatik kecuali hanya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

9. Memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran (mengingkari jalan-jalan kebid’ahan dan kelompok-kelompok sesat).

10. Membantah setiap yang menyelisihi syariat baik dia seorang muslim atau non muslim.

11. Membedakan antara ketergelinciran ulama ahlussunnah dengan kesesatan para dai-dai yang menyeru kepada bid'ah.

12. Selalu taat kepada pemimpin kaum muslimin selama dalam kebaikan, berdoa untuk mereka serta menasehati mereka dengan cara yang baik dan tidak memberontak atau mencaci-maki mereka.

13. Berdakwah dengan cara hikmah. [24]

14. Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama yang bersumberkan kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah serta pemahaman salaf, sekaligus meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi jaya melainkan dengan ilmu tersebut.

15. Bersemangat dalam menjalankan Tashfiyah (membersihkan Islam dari kotoran-kotoran yang menempel kepadanya seperti syirik, bid'ah, hadits-hadits lemah dan lain sebagainya) dan Tarbiyah (mendidik umat diatas Islam yang murni terutama dalam bidang aqidah).

✔ Kesimpulan:

1. Wajib mengikuti pemahaman salafush shaleh dalam beragama.

2. Disyariatkan/dibolehkan menamakan diri Salafi jika memang memiliki ciri-ciri diatas.

3. Salafiyah bukan kelompok seperti Jama'ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir atau yang lainnya yang menyimpang dari jalan para sahabat. Salafiyah hanyalah metode yang berlandaskan kepada pemahaman salafush sholeh dari kalangan sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.

4. Manhaj/metode salaf adalah benar, adapun individunya bisa salah bisa benar (tidak maksum).

5. Istilah Salafi bukan hal baru dalam sejarah Islam dan kamus para ulama ahlussunnah wal jama’ah.

6. Kita harus bisa membedakan mana salafi sejati dengan salafi imitasi lewat ciri-ciri diatas.

SELESAI.
--------------------
[23] Bukan memprioritaskan masalah akhlak, fiqih ataupun masalah keharmonisan rumah tangga. Namun sayang banyak yang mengaku da’i salafi di zaman ini yang tidak lagi mau kembali kepada Dakwah Salafiyah yang murni ini. Mereka telah tertular oleh manhaj/metode dakwah kelompok harakah atau ahli bid’ah yang lari dari dakwah para nabi. Na’udzu billahi mindzalik

[24] Diantara makna hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Oleh karena itu dakwah tidak selalu dengan lemah lembut tapi terkadang harus dengan sikap tegas dan keras, semuanya disesuaikan dengan keadaan. (Lihat Ad-Dakwah ilallahu oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Min ma'alimil manhaj an-nabawi fid dakwah ilallahu oleh Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr).

[25] Irsyad Al-Bariyyah ila Syar’iyyah Al-Intisab li As-Salafiyah hal.30-58 oleh Syaikh Abu Abdissalam Hasan bin Qasim Ar-riimi.

Penulis : Ustadz. Abdurrahman Thoyyib, Lc

Tuesday, March 14, 2017

Mengapa Harus Salafi ? - Bagian 3

✔ Bolehkah kita memakai istilah Salafi atau Salafiyah?

Allah ta'ala memerintahkan kita untuk bertanya kepada para ahli ilmu/ulama jika kita tidak mengetahui suatu permasalahan. Allah berfirman:

فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّڪۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui". (QS. Al-Anbiya' : 7)

Inilah ucapan ulama ahlusunnah wal jama’ah tentang hal ini:

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: 
"Tidak tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan dia menisbatkan diri kepadanya serta berbangga dengan madzhab salaf, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan karena tidaklah madzhab salaf kecuali benar." [13]

2. Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata: 
"Yang dibutuhkan oleh seorang Al-Hafidz (ahli hadits) adalah ketakwaan, kecerdasan, kepandaian dalam bahasa arab dan nahwu, kesucian hati, pemalu serta menjadi Salafi." [14]

3. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu pernah ditanya: 
"Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang menamakan dirinya Salafi dan Atsari, apakah in termasuk memuji diri sendiri? Beliau menjawab: 
"Apabila dia benar-benar Atsari atau Salafi maka tidak mengapa. Hal ini seperti yang pernah dikatakan oleh para salaf dahulu: Fulan Salafi, fulan Atsari. Ini termasuk pujian yang harus dan wajib." [15]

4. Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: 
"Adapun orang yang menisbatkan diri kepada para salafush shalih maka dia telah menisbatkan diri kepada kebenaran secara umum. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa diantara tanda kelompok yang selamat adalah yang berpegang teguh dengan jalan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Maka barangsiapa yang berpegang teguh dengan jalan mereka sungguh dia diatas petunjuk dari Rabbnya....Tidak diragukan lagi bahwa penamaan yang jelas disini adalah dengan kita mengatakan: Saya muslim yang bepegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta manhaj para salafush shalih. Kalau disingkat anda katakan: Saya Salafi." [16]

5. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: 
"Ahlussunnah wal jama'ah adalah para salaf sampai generasi terakhir. Barangsiapa yang berada diatas jalannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya maka dialah Salafi." [17]

6. Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid rahimahullahu berkata: 
"Jadilah engkau seorang Salafi yang menelusuri jejak salafush shalih dari kalangan sahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dalam permasalahan agama ini seperti tauhid, ibadah dan selainnya." [18]

7. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu berkata: 
"Pendiri Dakwah Salafiyah adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." [19]

8. Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullahu berkata: 
"Salafiyah adalah penisbatan diri kepada salaf. Dan salaf adalah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para pengikut mereka dengan baik dari tiga generasi terbaik umat ini dan yang setelah mereka. Inilah salafiyah...salafiyah tidak memiliki pendiri kecuali Rasulullah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pendiri salafiyah dan suri tauladan mereka. Demikian pula para sahabat Rasulullah adalah suri tauladan mereka." [20]

9. Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu berkata: 
"Salafiyah adalah meniti jejak salaf dari kalangan sahabat, tabi'in dan generasi yang utama baik dalam aqidah, pemahaman, dan akhlak. Dan wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti jalan mereka." [21]

10. Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr hafidzahullahu berkata: 
"Sebagian musuh dakwah ini menyangka, bahwa menisbatkan diri kepada salafiyah merupakan hizbiyah (fanatik golongan) yang bid’ah dan serupa dengan kelompok Ikhwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir atau Jama’ah Tabligh. Tidaklah mereka mengetahui bahwa menisbatkan diri kepada salafiyah adalah menisbatkan diri kepada generasi idaman (umat Islam) yaitu generasi para sahabat, tabi’in, generasi terbaik umat ini yang telah mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Menisbatkan diri kepada salaf merupakan bentuk penisbatan diri kepada umat yang ma’shum -secara umum- yang tidak berkumpul diatas kesesatan." [22]

BERSAMBUNG..
-------------------------
[12] Maksud menisbatkan tersebut adalah dengan mengatakan "Salafi", wallahu a'lam.
[13] Majmu' Fatawa 4/149.
[14] Lihat Siyar A'lamin Nubala' 13/380. 
[15] Lihat footnote kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah 'an as-Ilatil Manahij al-Jadiidah oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafidzahullahu- hal.17.
[16] Majalah Al-Ashalah edisi 9 hal.86-90 tanggal 15 Sya’ban 1416 H.
[17] Syarah Aqidah Al-Wasithiyah 1/54.
[18] Hilyah Thalibil Ilmi hal 28 dengan syarah Syaikh Al-Utsaimin.
[19] Al-Burkaan li Nasfi Jami’ah al Iman hal.36.
[20] Al-Fatawa Al-Jaliyah ‘an Al-Manaahij Al-Jadidah hal. 8.
[21] Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.103-104.
[22] Min Ma’aalim Al-Manhaj An-Nabawi fi Ad-Da’wah ilallah hal.63.


Penulis : Ustadz. Abdurrahman Thoyyib, Lc