Assalamu'alaikum!

Blog Sunnah

"Memurnikan Aqidah, Menebarkan Sunnah".

Looking for something?

Subscribe to this blog!

Receive the latest posts by email. Just enter your email below if you want to subscribe!

Friday, January 20, 2017

Apa bedanya manhaj dan Sunnah ?


Masa Fitnah : Pelajarilah dulu Manhaj, sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para Sahabatnya dulu juga mengajarkan manhaj terlebih dahulu
---------
Apa bedanya manhaj dan Sunnah?
Pada awalnya ketika zaman Rasulullah shalalloohu ‘alaihi wa sallam, manhaj dan sunnah itu sebenarnya tidak ada bedanya. Karena di dalam sunnah itu terkandung manhaj.
Rasulullah ketika menyampaikan sunnah nya, tentu mengajarkan dan menekankan pemahaman agar para sahabat memahami apa yang beliau sampaikan. Inilah manhaj.
Maka dari itu, kita lihat persaksian para sahabat bahwa Rasulullah kadang sering mengulangi perkataan beliau berkali-kali (bahkan kadang sampai 3 kali), agar para Sahabat benar benar faham apa yang beliau maksud.
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّهُ كَانَ إِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلاَثًا حَتَّى تُفْهَمَ عَنْهُ ، وَإِذَا أَتَى عَلَى قَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ سَلَّمَ عَلَيْهِمْ ثَلاَثًا .
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
“bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam jika berbicara dengan sebuah pembicaraan, beliau mengulanginya tiga kali agar dipahami pembicaraan beliau tersebut.” [HR. Bukhari]
Pemahaman yang terkandung dalam sunnah inilah yang disebut manhaj, atau cara memahami sunnah.
Dari sini kita faham, kenapa Rasulullah mengatakan orang yang salah dalam memahami agama itu (baca : salah manhajnya dalam memahami agama), sebagai orang yang membenci sunnahnya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فمَن رغب عن سنَّتي فليس منِّي
“Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah termasuk umatku.” (HR. Bukhari [5063] dan Muslim [1401])
***
Mustahil Rasulullah menyampaikan sesuatu kepada para Sahabatnya dengan tidak dimaksudkan untuk mengajarkan apa yang beliau sabdakan, guna memahaminya.
Mustahil para Sahabat itu hanya sekedar dituntut sebagai "tukang kirim surat", yang tidak mengerti isi surat yang ada di dalam amplop yang dia kirimkan.
Maka dari itulah, Rasulullah menyampaikan haditsnya dan juga mengajarkan pemahamannya.
Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه ) وصححه الألباني في "صحيح الجامع" (2309)
“Allah akan memberikan “Nadhrah” (keindahan, keelokan, atau kecemerlangan) kepada seseorang yang telah mendengarkan ucapanku, lalu dia MEMAHAMINYA, menghafalnya dan menyampaikannya.
Dan berapa banyak orang yang memiliki pemahaman, yang lebih memahami mengenai (hadits yang disampaikan Rasulullah darinya) itu”. [Imam At Tirmidzi (2658), Dishahihkan kan oleh Albani dalam Shahihul Jami’: 2309]
***
Hadits di atas mengajarkan kepada kita bahwa :
1. Rasulullah menyampaikan hadits dan juga pemahamannya, maka dari itu Rasulullah mensyaratkan bahwa para sahabat yang menyampaikannya itu harus memahami dulu akan apa-apa yang hendak dia sampaikan dari Rasulullah shalalloohu ‘alaihi wa sallam.
Jadi tidak hanya sekedar hafalan saja.
2. Bahwa bisa jadi ada orang yang lebih memahami dan lebih bisa mengambil faedah dari hadits Rasulullah dibandingkan orang yang pertama kali menyampaikannya, karena sabda Rasulullah itu adalah jawami’ul kalim (perkataan yang terkumpul padanya banyak faedah).
3. Orang yang lebih memahami jika konteksnya adalah Sahabat, maka yang dimaksud adalah diantara para Sahabat sendiri. Bukan untuk dibandingkan kepada orang-orang selain Sahabat.
Kenapa?
a. Karena Rasulullah menyebutkan bahwa para Sahabat adalah sebaik-baik umat yang telah mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah, dan Rasulullah juga memerintahkan ummatnya untuk menyandarkan manhaj yang haq kepada manhaj pemahaman para Sahabat (Baca : Al Jama’ah).
Maka dari itulah golongan yang selamat itu disebut sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Baca : orang yang berpegang kepada sunnah Rasulullah dan manhaj para Sahabat sebagai Al Jama’ah).
Dari hal ini maka tidak mungkin ada orang yang lebih memahami agama dibandingkan para Sahabat, hingga dia sampai membuat-buat manhaj cara memahami agama yang berbeda dan menyelisihi para Sahabat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِيْ مَا أَتَى عَلَى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِيْ أُمَّتِيْ مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi pada ummat bani Israil sedikit demi sedikit, sehingga jika ada di antara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka kecuali satu millah.’
(para Shahabat) bertanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya.” 
[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2641, Hadits ini Hasan. Lihat Lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah no. 1348 dan kitab Shahih Tirmidzi no. 2129.]
b. Karena Rasulullah bersabda bahwa tidaklah datang suatu zaman kecuali zaman itu lebih jelek dari zaman sebelumnya. Dan juga salah satu tanda-tanda kiamat itu adalah diangkatnya ilmu.
Maka jelas bahwa para Sahabat itulah orang yang paling benar dan paling memahami mengenai Agama ini. Sebagaimana mereka dididik sendiri secara langsung oleh Rasulullah shalalloohu ‘alaihi wa sallam.
فقال اصبروا فأنه لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه سمعته من نبيكم صلى الله عليه وسلم (رواه البخاري
Anas bin Malik berkata,
“Bersabarlah kalian, tidaklah datang suatu zaman kecuali zaman itu lebih jelek dibandingkan zaman yang sebelumnya. Aku telah mendengar hal ini dari nabi kalian Shalalloohu ‘alaihi wa sallam” [Hr. Bukhori]
4. Para Sahabat sendiri memang bisa lebih memahami hadits dengan lebih baik dibandingkan Sahabat yang lain. Atau dengan kata lain, pemahaman dan kefaqihan para Sahabat itu bertingkat-tingkat. Ini sebagaimana contoh kisah yang terjadi antara Sahabat Salman Al Farisi dan Abu Darda’, yang kemudian Rasulullah membenarkan pemahaman Salman.
Abu Juhaifah Wahb bin `Abdillâh Radhiyallahu anhu berkata, 
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salman al-Fârisi dan Abu Darda` Radhiyallahu anhuma. Setelah itu Salmân Radhiyallahu anhu mengunjungi Abu Darda` Radhiyallahu anhu. Dia melihat Ummu Darda`Radhiyallahu anha memakai pakaian kerja dan tidak mengenakan pakaian yang bagus. Salman Radhiyallahu anhu bertanya kepadanya,
“Wahai Ummu Darda`, kenapa engkau berpakaian seperti itu?”
Ummu Darda` Radhiyallahu anha menjawab, “Saudaramu Abu Darda` Radhiyallahu anhu sedikit pun tidak perhatian terhadap istrinya. Di siang hari dia berpuasa dan di malam hari dia selalu shalat malam.”
Lantas datanglah Abu Darda` Radhiyallahu anhu dan menghidangkan makanan kepadanya seraya berkata, “Makanlah (wahai saudaraku), sesungguhnya aku sedang berpuasa”
Salman Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku tidak akan makan hingga engkau makan.” Lantas Abu Darda` Radhiyallahu anhu pun ikut makan.
Tatkala malam telah tiba, Abu Darda` Radhiyallahu anhu pergi untuk mengerjakan shalat. Akan tetapi, Salman Radhiyallahu anhu menegurnya dengan mengatakan, “tidurlah” dan dia pun tidur. Tak lama kemudian dia bangun lagi dan hendak shalat, dan Salman Radhiyallahu anhu berkata lagi kepadanya, “tidurlah.” (dia pun tidur lagi-pen)
Ketika malam sudah lewat Salman Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Darda` Radhiyallahu anhu , “Wahai Abu Darda`, sekarang bangunlah”. Maka keduanya pun mengerjakan shalat”
Setelah selesai shalat, Salman Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Darda` Radhiyallahu anhu, “ (Wahai Abu Darda`) sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, badanmu mempunyai hak atas dirimu dan keluargamu (istrimu) juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak mereka.”
(selanjutnya) Abu Darda` Radhiyallahu anhu mendatangi Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut kepadanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Salman benar” [HR. al-Bukhâri no. 1867., kitab Ash-Shahâbah hlm.462]
5. Untuk konteks orang-orang selain Sahabat dan para Salaf, maka bisa jadi satu orang lebih faham dan lebih faqih dibandingkan orang yang lain dalam mengambil faedah dari hadits Rasulullah sebagai jawami’ul Kalim.
Dengan syarat sesuai dengan pemahaman dan manhaj Salaf selaku golongan yang selamat Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai standartnya.
Disebutkan Salaf selain Sahabat maksudnya adalah Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, karena terdapat hadits Rasulullah yang lain yang memuji periode zaman mereka.
6. Manhaj itu seharusnya diteruskan juga bersamaan dengan penyampaian riwayat-riwayat hadits, maka dari itulah para Ahlul Hadits selain meriwayatkan Hadits Rasullah mereka juga meriwayatkan perkataan para Sahabat dan Salaf lainnya.
Hanya saja prakteknya, untuk mempermudah dan mempertegas pemahaman manhaj. Para Ulama membuat kitab point-point dalam masalah manhaj Salaf yang sebenarnya didasarkan atas banyak sekali dalil sunnah dan atsar Salaf.
Ini sebagaimana telah kita buktikan pada salah satu point manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai pemerintahan Islam yang dzolim, menyimpang, semena-mena, dan dekat dengan jurang kekufuran (namun belum terjatuh ke jurang tersebut, sehingga tidak bisa otomatis langsung dikafirkan).
Kami telah menterjemahkan kumpulan hadits Rasulullah yang berkaitan dengan hal itu, yang dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah Al Imam hafidzahulloh, hingga berjumlah sampai 106 hadits.
Inipun hanya hadits Rasulullah saja. Tidak ditambahi dengan qoul para Salaf, dan para Aimmah.
7. Point yang memerinci perbedaan tingkat pemahaman di antara para Sahabat dan Salaf, sebagaimana pada point 3 dan 4. Serta agar tidak disamakan dengan perbedaan tingkat pemahaman diantara orang selain Salaf, sebagaimana point 5.
Ini sengaja saya tuliskan untuk membantah perkataan yang dijadikan kaidah oleh sebagai orang sebagai berikut,
مذهب السلف أسلم ومذهب الخلف أعلم و أحكم
“madzhab salaf itu lebih selamat, namun madzhab para khalaf (orang yang datang setelah Salaf) itu lebih berilmu dan lebih hikmah”
Maksud dari perkataan itu pada prakteknya adalah untuk dijadikan hujjah bolehnya menyelisihi manhaj Salaf Ahlus Sunnah Wal jama’ah, karena dianggap sudah kuno dan tidak “up to date” sesuai dengan zaman ini.
Hal ini adalah kesalahan dan penipuan.
Jika yang dimaksud dengan madzhab kholaf adalah usaha istinbath, penelitian, dan ijtihad terhadap dalil-dalil yang ada, untuk menghukumi perkara-perkara baru yang belum ada di masa Salaf. Maka hal ini tidak masalah asalkan tidak bertentangan dengan manhaj Salaf.
Atau untuk membantah variasi kebid’ahan yang selalu muncul pada setiap zaman dengan syubhat yang berbeda-beda. Maka hal ini juga tidak masalah asalkan dengan ditujukan kembali kepada manhaj Salaf.
Namun jikalau ini ditujukan untuk boleh menyelisihi pokok-pokok manhaj Salaf, sehingga mereka memiliki pokok-pokok pemahaman sendiri dalam memandang agama. Maka di sinilah letak kebatilan dan penipuannya.
Ini saya tuliskan karena pada kenyataannya banyak Ahlul Bid’ah yang berdalil untuk membenarkan kebid’ahannya dengan cara meninggalkan manhaj Salaf.
Sebagaimana contoh Inkarus Sunnah. Mereka bahkan berdalil juga dengan riwayat-riwayat di dalam Sunnah sebagai keabsahan mereka untuk meninggalkan sunnah sebagai dasar hukum, dan mencukupkan diri dengan Al Qur’an.
Inkarus Sunnah ini sudah ada sejak zaman Sahabat, dan selalu muncul pada tiap zaman hingga sampai pada masa kita.
***
Pemahaman dalam memahami sunnah ini, lambat laun terjadi demarkasi antara hadits atau riwayat sebagai jalan untuk menyampaikan sunnah, dan manhaj dalam memahami sunnah itu sendiri.
Ini karena banyak Ahlul Bid’ah yang juga memiliki riwayat hadits atau memakai hadits yang kemudian diselewengkan sesuai dengan Hawa nafsunya, agar mendukung kebid’ahannya dan menyelisihi manhaj Salaf. Di sinilah point pentingnya belajar manhaj.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Barbahari rohimahulloh,
"Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya llmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit.
Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid'ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak." (Lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)
Imam adz-Dzahabi rohimahullah juga berkata,
"Sesungguhnya ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi la adalah cahaya yang Allah berikan ke dalam hati. Syaratnya adalah ittiba'/setia mengikuti tuntunan dan meninggalkan hawa nafsu/ penyimpangan dan membuat-buat bid'ah. " (Lihat Ma'alim fi Thariq Thalab al-'llmi, hal. 40)
Maka dari itulah disusun kitab-kitab yang mengajarkan dan menjelaskan mengenai point-point pokok manhaj Salaf. Sebagaimana mana kitab Aqidah Salaf Ashabul Hadits, Aqidah Ath Thohawiyah, Ushulus Sunnah, Syarhus Sunnah, dan lain-lain.
Mempelajari kitab-kitab manhaj tersebut dirasa penting terutama pada era sekarang ini, dibandingkan membaca dan mengumpulkan hadits namun tidak mengetahui bagaimana cara memahaminya dengan benar sesuai dengan manhaj Salaf.
Dari inilah penting bagi kita untuk mempelajari kitab manhaj untuk mengumpulkan pemahaman yang benar, dibandingkan dengan hanya sekedar mengumpulkan hadits guna difahami menurut hawa nafsu dan kepentingan kita sendiri.
***
Pada akhirnya ketika datang masa fitnah, maka akan terlihat beda sikap antara orang yang memahami manhaj dengan orang yang hanya sekedar mengumpulkan syubhat.
Akan terlihat bedanya manhaj orang yang sukanya hanya ikut kajian sunnah tematik saja (walaupun itu tidak salah), dengan orang yang mengikuti kajian manhaj ataupun mempelajari kitab-kitab manhaj.
Akan terlihat orang yang terombang-ambing, dengan orang yang berusaha tegar berpegang kepada sunnah yang berasaskan manhaj yang benar.
 Oleh: Ustadz. Kautsar  Amru