Assalamu'alaikum!

Blog Sunnah

"Memurnikan Aqidah, Menebarkan Sunnah".

Looking for something?

Subscribe to this blog!

Receive the latest posts by email. Just enter your email below if you want to subscribe!

Tuesday, February 14, 2017

Kemudahan Memahami Pokok Pokok Manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah - Bagian 5

Sekarang kita akan lebih memasuki pendetailan penjelasan Al Qur'an adalah Kalamullah, sesuai dengan manhaj salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam i'tiqod nya kepada Allah, dalam memahami ayat ayat dan hadits yang Shohih yang menyebutkan bahwa Al Qur'an itu adalah Kalamullah.

Sebelumnya kita sudah membahas Al Qur'an adalah Kalamullah (Firman Allah), berikut juga mengenai sifat Af'aliyyah Allah Al Kalam (berbicara).

Telah kita bantah juga maksud daripada kebatillan Mu'tazilah yang mendakwahkan Al Qur'an adalah makhluk, bukan Kalamullah.

Akan tetapi ternyata ada sebagian firqoh yang "belum tulus" mengimani bahwa Allah berbicara sesuai dengan lafadh, bahasa, makna, dan cara sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.

Sehingga firqoh tersebut menganggap bahwa Allah hanya memberikan ibarat atau hikayat kepada Malaikat Jibril, bukan berfirman dengan lafadh, bahasa, dan makna secara hakiki. Yang mana maksud dari ibarat itu ditangkap dan difahami maknanya oleh Malaikat Jibril, lalu disampaikan kepada Rasulullah.

Inilah maksud Al Qur'an adalah Kalamullah menurut versi mereka.
Dengan kata lain Malaikat Jibril dianggap sebagai penterjemah apa yang difirmankan Allah. Bukan menyampaikan apa adanya, karena Allah dianggap tidak berfirman secara langsung.

Pendapat yang kedua dari firqoh ini adalah sama seperti yang kita jelaskan, hanya saja bedanya yang dianggap sebagai fihak penterjemah atau yang menangkap maksud dari ibarat yang diberikan adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu sendiri. Bukan malaikat Jibril.

Malaikat Jibril dalam pendapat kedua ini dianggap amanah menyampaikan apa adanya, hanya Rasulullah saja yang dianggap yang mentakwilkannya dan menerjemahkan nya agar bisa difahami oleh manusia akan "bahasa Tuhan".

Inilah juga maksud Al Qur'an adalah Kalamullah menurut versi mereka.

Apa efek dari i'tiqod mereka terhadap Al Qur'an yang seperti itu?

Efeknya adalah walaupun mereka mengatakan Al Qur'an adalah Kalamullah, namun maksud yang diinginkan dengan i'tiqod seperti itu tidak ada bedanya dengan yang dikehendaki oleh Mu'tazilah yang mendewa dewakan akal dan pemuja ilmu Kalam (filsafat) itu.

Yakni karena sejak awal Al Qur'an difahami sebagai pentakwilan atau interpretasi dari ibarat yang diberikan Allah, maka Al Qur'an dianggap pada hakekatnya adalah suatu hal yang multi interpretasi, dan tidak dianggap tabu untuk menginterpretasikan Al Qur'an dari berbagai sisi yang sesuai dengan akal dan hawa nafsu keinginan manusia.

Sehingga akhirnya yang menjadi hakim dan penentu adalah Akal. Al Qur'an hanya dianggap sebagai pendukung yang bisa digiring interpretasi nya (ta'wil) ke arah manapun yang kita mau sesuai dengan akal dan keinginan hawa nafsu kita.

Maka dari itu tidak heran jika para pendukung Liberalisme dan Pluralisme pada zaman ini, banyak muncul dari embrio firqoh ini.

Ini karena tidak lain mereka dididik dan dibesarkan dengan pemahaman bahwa Al Qur'an itu multi interpretasi, yang didasarkan dari pemahaman yang salah dan menyimpang dari manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai perincian penjelasan Al Qur'an adalah Kalamullah.

Kami juga sudah pernah menulis penjelasan yang semisal mengenai hal ini.

Berikut kami sertakan foto penjelasan juga dari Syarah Aqidah Salaf tulisan Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafidzahulloh.

Silakan merujuk juga ke situ.


13 Januari 2017
Kautsar Amru

Thursday, February 9, 2017

Usaha Kita Untuk Menegakkan Hukum Allah -Ta’aalaa- di Negeri Kita

[1]- CAKUPAN BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH

“Saya katakan: Sungguh, tema ini (berhukum dengan hukum Allah) telah menyibukkan umat ini dan banyak dari mereka yang kurang pemahamannya dalam masalah ini.

Tatkala saya melihat bahwa hal ini asangatlah penting; maka saya ingin menulis tentang permasalahan ini untuk menjelasakan -sebisa mungkin-: jalan untuk mengamalkan konsekuensi dari berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa-, dan bagaimana cara kita untuk mewujudkannya dan menjalankannya; agar tidak terjadi fitnah (kejelekan) dan agar agama hanya bagi Allah.

Dan saya jelaskan bahwa hal ini (berhukum dengan hukum Allah) mencakup setiap individu (perorangan). Maka setiap anak Adam (manusia) adalah pemimpin. Sebagaimana penguasa adalah bertanggung jawab atas rakyat dan negaranya; maka setiap dari kita juga bertanggung jawab atas rakyatnya: di rumahnya dan pada keluarganya, bahkan -sebelum yang lainnya-: setiap diri kita adalah bertanggung jawab atas diri sendiri.

Dan saya juga menjelaskan pentingnya ilmu dalam hal ini.”
[“Kaifa Tahkumu Nafsaka Wa Ahlaka Wa Man Talii Umuurahum Bihukmillaah” (Bagaimana Engkau Menghukumi Dirimu, Keluargamu Dan Orang-Orang Yang Dibawah Tanggung Jawabmu: Dengan Hukum Allah) (hlm. 7), karya Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awayisyah -hafizhahullaah-]

[2]- BAGAIMANA CARA BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH

“Hal itu dilakukan dengan mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal.

Dan untuk mengenal halal dan haram: haruslah dengan ilmu…

Maka, marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam Shalat.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam Puasa.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam Zakat.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam Haji.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam pernikahan dan juga kematian.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam berpakaian.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam makanan dan minuman.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam perkara-perkara individu, keluarga, masyarakat dan umat.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam ekonomi.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam perdamaian dan juga peperangan.

Marilah kita berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- dalam segala aspek kehidupan kita.”
[“Kaifa Tahkumu…” (hlm. 13-14)]

[3]- HUKUM ALLAH HANYA DIKETAHUI DENGAN ILMU

“Urgensi (sangat pentingnya) meneliti, men-tahqiq, dan membahas (ilmu).

Sungguh, perwujudan berhukum dengan hukum Allah -Ta’aalaa- tidak akan terlaksana -selama-lamanya- tanpa adanya: penelitian, tahqiq, mencari (kebenaran) dan pembahasan (ilmu). Hal itu dikarenakan bahwa: sungguh agama ini adalah (berdasarkan):

- apa yang Allah firmankan,

- apa yang Nabi sabdakan, dan

- apa yang para Shahabat katakan.

* Untuk Al-Qur’an; maka -alhamdulillaah- kedustaan tidak akan mengenainya sama sekali. Akan tetapi kita harus meneliti tafsir dan makna yang menjelaskan maksud Allah -Ta’aalaa-. Karena kalau tidak dilakukan hal ini; maka akan mengantarkan kepada penyelisihan dalam penerapan berhukum kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.

* Adapun untuk Sunnah (Nabi); maka jelas kita harus melakukan tahqiq dan penelitian. Karena perkataan kita: “Rasulullah -shalllallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda”; ini merupakan agama. Kalau ada kedustaan atas nama Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka ini juga kedustaan atas nama Allah, sehingga akan ada pensyari’atan agama yang tidak diizinkan oleh Allah.
(Intinya bahwa) tidak adanya penelitian: akan menyampaikan kepada berhukum dengan selain hukum Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.”
[“Kaifa Tahkumu…” (hlm. 16-17)]

[4]- TASHFIYAH DAN TARBIYAH ADALAH JALAN UNTUK MENEGAKKAN BERHUKUM DENGAN SYARI’AT ALLAH
Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- berkata:

“Oleh karena itu; maka kita harus mulai dengan mengajarkan agama Islam yang benar kepada manusia -sebagaimana Rasulullah -‘alaihish shalaatu was salaam- memulai dengannya-. Akan tetapi kita tidak boleh mencukupkan diri hanya sekedar mengajarkan saja; karena sungguh, Islam telah dimasuki dengan hal-hal yang bukan berasal darinya dan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengannya; berupa bida’ah-bid’ah dan hal-hal yang baru; yang menyebabkan hancurnya bangunan Islam yang kokoh.

Oleh karena itulah wajib atas para da’i untuk memulai dengan men-TASHFIYAH (memurnikan) islam ini dari hal-hal yang masuk ke dalamnya.

Inilah PRINSIP YANG PERTAMA: TASHFIYAH.

Adapun PRINSIP YANG KEDUA; yaitu: Tashfiyah ini harus disertai TARBIYAH (pembinaan) pemuda muslim di atas Islam yang sudah dimurnikan ini.”
[“Fitnatut Takfiir” (hlm. 42), dikumpulkan oleh: ‘Ali bin Husain Abu Luz. Dan lihat: “Fiq-hus Siyaasah Asy-Syar’iyyah” (hlm. 96-111), karya Syaikh Doktor Khalid bin ‘Ali Al-‘Anbari -hafizhahullaah-]

[5]- MEMULAI DARI DIRI SENDIRI

A. Secara Ilmu

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ أَمَرَ أَلاَ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

“…Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40)

“Al‑Baghawi berkata dalam Tafsirnya: “Hukum (keputusan) itu” (Yakni): keputusan, perintah dan larangan [“hanyalah milik Allah”].”

“Hukum itu hanyalah milik Allah”; apakah dalam perkara yang kecil ataupun besar, sedikit maupun banyak; maka keputusan, perintah dan larangan di dalamnya adalah milik Allah -Ta’aalaa-. Terkadang hukum Allah diselisihi dikarenakan fanatik terhadap keluarga dan kerabat, atau dikarenakan kecintaan kepada harta, perdagangan, kelompok, golongan, guru, atau perkara-perkara yang semisalnya.

Maka kita harus mengenal dalil-dalil yang berisi: pengharaman dan penghalalan, serta perintah dan larangan; agar kita mengharamkan apa yang Allah haramkan, menghalalkan apa yang Allah halalkan, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi apa yang Allah larang.

Maka ini berkonsekuensi agar kita mengerahkan segenap usaha kita untuk ilmu, berlutut di hadapan para ahli ilmu, menyelami kitab-kitab, dan mengambil faedah dari para ulama umat ini yang terdahulu. Semua itu sesuai kemampuan yang dimiliki, sehingga akan ada:

- orang ‘alim (berilmu) yang mengajarkan, dan

- ada para penuntut ilmu yang belajar.

- Adapun bagi yang tidak memilki kemampuan; maka jangan sampai dia berfatwa ataupun memberikan pengajaran; akan tetapi tugasnya adalah belajar.

- Dan jangan pula engkau menjadi orang yang mengahalangi (dari menuntut ilmu), atau orang yang mengkritisi (orang yang menuntut ilmu; sehingga engkau termasuk) orang-orang yang binasa.”
[“Kaifa Tahkumu…” (hlm. 15-16)]

B. Secara Amal

“Apakah perbaikan dimulai dari pemerintah atau dengan cara memperbaiki umat?…

Maka jawabannya…terdapat dalam nash ayat dan hadits -dan tidak boleh berijtihad ketika ada nash-.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

...إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ...

“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Maka, alangkah jelasnya ayat ini! Akan tetapi, walaupun jelas; tetap saja banyak orang-orang yang manamakan diri mereka dengan harakah (pergerakan) Islami; mereka telah berijtihad, dan keadaan mereka seolah-olah berkata: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah pemerintah mereka!!” Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah. Seakan mereka menutup mata dari Siroh (perjalanan hidup) Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang menafsirkan penjelasan ini. Mereka mengabaikan bahwa: sesungguhnya mereka tidak akan jaya sebelum mereka menjadikan agama ini sebagai sumber hukum dalam diri-diri mereka; berdasarkan hadits Ibnu ‘umar -radhiyallaahu ‘anhumaa-, bahwa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِذَا تَـبَايَـعْـتُـمْ بِـالْـعِـيْـنَـةِ، وَأَخَــذْتُـمْ أَذْنَـابَ الْـبَقَرِ، وَرَضِيْـتُمْ بِـالـزَّرْعِ، وَتَرَكْــتُمُ الْـجِهَـادَ؛ سَلَّـطَ اللهُ عَـلَيْكُمْ ذُلاًّ؛ لاَ يَـنْـزِعُـهُ حَتَّى تَـرْجِــعُــوْا إِلَـى دِيْــنِـكُمْ

“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem Bai’ul ‘Iinah, kalian memegang ekor-ekor sapi dan ridha dengan pertanian, dan kalian meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kalian, Dia tidak akan mencabut (kehinaan) itu dari kalian; hingga kalian kembali kepada agama kalian.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan hadits ini Hasan.

Inilah hukum Allah dan Rasul-Nya;

...فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَ اللَّهِ وَآيَاتِهِ يُؤْمِنُونَ

“…maka dengan perkataan mana lagi mereka akan beriman setelah Allah dan ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-Jaatsiyah: 6).”
[Madaarikun Nazhar Fis Siyaasah (hlm.132- cet. I), karya Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani Al-Jaza-iri -hafizhahullaah-]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا...

“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan masing-masing bertanggung jawab atas rakyatnya. Imam (penguasa) adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya. Laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Wanita juga pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas rakyatnya.”
[HR. Al-Bukhari (no. 893) dan Muslim (no. 1829)]

“Demikianlah, setiap orang adalah pemimpin dan penguasa di rumahnya, dan dia mempunyai banyak tanggung jawab yang besar yang harus ditunaikan…”
[“Kaifa Tahkumu…” (hlm. 44)]

Jika anda menunda-nunda dalam pelaksanaan tanggung jawab anda -dengan alasan ingin mendahulukan penegakan syar’iat di Negara ini-: Siapa yang bisa menjamin bahwa anda akan tetap hidup sampai nantinya tegak syari’at di Negara ini?!
[Lihat: “Kaifa Tahkumu…” (hlm. 50)]

[6]- LALU BAGAIMANA DENGAN MUSUH-MUSUH ISLAM

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- berkata:

“Mungkin ada orang yang akan mengatakan: “Kalau kami mengikuti jalan-jalan kalian...; maka sungguh, musuh-musuh (Islam) itu tidak akan tinggal diam dan tidak akan membiarkan kita.
Maka jawabannya dari dua segi:

Pertama: Bahwa jalan kita ini adalah jalan para Salaf, maka tidak membahayakan kita setelah itu: apa yang akan menimpa kita -baik dari mereka (musuh-musuh Islam) maupun dari yang lainnya-.

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ...

“Dan sungguh, ini adalah jalan-Ku yang lurus; maka ikutilah! Janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya…” (QS. Al-An’aam: 153)

Kedua: Bahwa jalan kami ini adalah cara yang tepat untuk menghancurkan rancangan mereka (musuh-musuh Islam) dan menggagalkan tipu daya mereka. Karena, tidak ada alasan bagi mereka sama sekali untuk menyifati kami dan juga kalian dengan sifat “Teroris” atau “Ekstrimis”! Sedangkan cara kalian justru mengajak dan mengingatkan mereka untuk terus menjalankan rancangan mereka, dan mewujudkan keinginan mereka, serta menjadikan orang-orang melampaui batas terhadap kalian.”
[“Ru’yah Waaqi’iyyah Fil Manaahij Al-Jadiidah” (hlm. 93-94- cet. I)]

[7]- TERAKHIR…JANGAN REMEHKAN ORANG-ORANG LEMAH

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ابْغُوْنِي الضُّعَفَاءَ، فَإِنَّمَا تُرْزَقُوْنَ وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ

“Carikanlah orang-orang lemah untukku. Sungguh kalian diberi rizki dan ditolong: hanya dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian.”
[HR. Abu Dawud (no. 2594), dan lainnya dengan sanad yang Shahih]

Dalam hadits lain beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjelaskan:

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهَ هٰذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ

“Allah menolong umat ini hanyalah dengan sebab orang-orang lemahnya: dengan do’a mereka, shalat mereka, dan keikhlasan mereka.”
[Diriwayatkan oleh An-Nasa-i dan lainnya. Lihat: “Ash-Shahiihah” (no. 779)]

“Demikianlah Allah akan menolong umat ini disebabkan orang-orang lemahnya; maka tidak sepantasnya kita meremehkan orang lemah dan bersombong atasnya. Karena dengan do’anya, shalatnya dan keikhlasannya: kita diberikan pertolongan dan rizki -dengan izin Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa-. Dan kita tidak diperkenankan -sama sekali- untuk meremehkan amalan shalih, tidak boleh pula kita meremehkan kebaikan yang dilakukan oleh seorang muslim -sedikit maupun banyak-.”
[“Kaifa Tahkumu…” (hlm. 69)]

9 Februari 2017 
Penulis: Ahmad Hendrix

Kemudahan Memahami Pokok Pokok Manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah - Bagian 4

Manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam I’tiqodnya kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala dalam masalah sifat-sifat-Nya, adalah menetapkan seluruh Khobar mengenai sifat-sifat Nya yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan As-Sunnah yang Shohih apa adanya.

Baik itu sifat dzatiyyah (yang berhubungan dengan dzat Allah) ataupun sifat fi’liyyah (yang berhubungan dengan perbuatan Allah).

Manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam I’tiqodnya kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala menetapkan itu semua, dengan tanpa melakukan:

1. Tahrif (perubahan) dari kata Arab yang ditunjukkan dalam khobar tersebut
2. Ta’thil (meniadakan atau mengingkari) sifat itu
3.Takwil (memalingkan asal makna kata tersebut ke makna yang lain). Kadang disebut juga Tafsir
4. Tasybih (menyerupakan) hakikatnya dengan makhluq ciptaannya, karena hanya sama kata yang digunakan.
5. Takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), karena hakikatnya hanya Allah yang tahu. Sedangkan kita menetapkan pengertian bahasa asal yang digunakan, dengan pemahaman yang sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah tabaaroka wa ta’aala.

Seperti misal kata “wajhun” yang berarti wajah.

وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. [QS Ar Rahman : 27]

Maka kita tetapkan bahwa Allah memiliki wajah sebagai sifat dzatiyyah Nya, dengan tanpa berusaha men-tahrifnya. Tanpa berusaha men-ta’thilnya.

Kita tetapkan wajah sebagai sifat dzatiyyah Nya dengan tanpa berusaha men-tasybihkannya dengan makhluqnya. Dan tanpa takyif untuk menanyakan bagaimana hakikatnya.

Kita tidak mentafwidh (menyerahkan) makna dan pengertian kata yang ditunjukkan dalam bahasa Arab itu kepada Allah.

Karena ini berarti menuduh Allah telah menurunkan wahyu yang tidak difahami manusia apa maksudnya.

Dan juga menuduh Rasulullah tidak mengetahui apa yang dia sampaikan kepada ummatnya. Sedangkan pengertian kata “wajhun” (wajah) itu artinya jelas.

 Wajah ya wajah.

Ayat-ayat yang berbicara mengenai sifat-sifat Allah di dalam Al Qur’an itu mayoritas dan banyak sekali. Dan semua ayat-ayat sifat itu adalah ayat yang muhkamaat yang jelas maksudnya. Bukan ayat mutasyabihaat yang tidak jelas maksudnya.

Sebagaimana misal anologi pendekatan pemahaman yang lain. Manusia memiliki “wajah”, monyet juga memiliki “wajah”. Maka apakah sama wajah manusia dan wajah monyet, hanya karena sama-sama menggunakan kata “Wajah”?

Manusia yang disama-samakan dengan wajah monyet tentu saja tidak terima. Maka apalagi menyamakan kata “wajah” yang dipergunakan Allah dalam menyebutkan sifat dzatiyyah nya, dengan wajah manusia sebagai makhluq ciptaan-Nya. Tentu kedua hal itu hakikatnya berbeda walaupun kata yang digunakan sama-sama “wajah”.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

… Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Mahamendengar dan Mahamelihat.” [asy-Syûrâ/42:11]

Adapun yang di-tafwidh (diserahkan kepada Allah) adalah bagaimana hakikat-Nya. Maka ini kita tidak mengetahuinya. Dan juga kita dilarang mempertanyakan bagaimananya (Takyif).

Karena para Sahabat selaku Salaf yang paling utama, menerima dan beriman ketika diberikan Khabar akan sifat-sifat dzatiyyah Allah tersebut, dan tidak mempertanyakannya kepada Rasulullah. Demikian juga yang diikuti dan ditetapkan oleh Tabi'in selaku Salaf yang mengikuti Sahabat, dan Tabi'ut Tabi'in.

Maka dari itulah kita menetapkan dan beriman kepada sifat-sifat itu, sebagaimana pengertian makna asal yang ditunjukkan. Dan kita menetapkan-Nya sesuai dengan keagungan, kesucian, dan kemuliaan yang telah Allah tetapkan pada diri-Nya sendiri, yakni dengan cara kita menetapkan maknanya dan mentafwidh hakikat-Nya.

Karena kita sebagai manusia, tidak bisa untuk menjangkau dan mendeskripkan hakikat keagungan, kesucian, dan kemuliaan dari sifat-sifat dzatiyyah dan fi’liyyah yang Allah dan Rasul-Nya khabarkan itu. Kecuali dengan menetapkanya sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman,

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allâh dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” [az-Zumar/39:67]

Demikianlah manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menerima Khabar dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohih akan sifat-sifat Allah.

Sedangkan para Ahlul Bid’ah umumnya menyimpang dari manhaj ini dengan berusaha membuat-buat deskripsi, pembagian, ataupun penjelasan tersendiri yang tidak pernah dijelaskan oleh Rasulullah dan para Sahabat-Nya (selaku Salaf yang paling utama) mengenai sifat-sifat Allah.

Umumnya mereka menempuh metode Ahlul Kalam (Filsafat) dengan tujuan yang “mereka anggap baik”, sehingga mereka terjebak dalam :

1. Men-tahrif (merubah) sifat-sifat Allah yang telah dikhabarkan
2. Men-takwil sifat-sifat Allah ke pengertian yang lain
3. Men-tasybih sifat-sifat Allah hingga menyerupai sifat yang dinisbatkan kepada makhluk-Nya (baca : bukan hanya sekedar persamaan kata yang digunakan namun beda hakikat saja)
4. Men-ta’thil (meniadakan) sifat-sifat Allah itu, karena dianggap tidak sesuai dengan logika dan “apa yang mereka anggap” baik.
5. Dan pintu serta sumber dari semua itu adalah karena mereka men-takyif (menanyakan) bagaimana hakikat dari sifat-sifat itu. Hingga tergelincirlah mereka kepada penyimpangan Aqidah.

Jika kaum Muslimin umumnya menerima dan mengimani khabar-khabar mengenai pensifatan surga dan neraka yang ghoib dan tidak masuk akal bagi mereka. Yang mana dikatakan bahwa kenikmatan surga itu saja tidak bisa dibayangkan atau dikhayalkan hakikatnya, dan tidak bisa terpintas dalam benak.

 Maka apalagi sifat-sifat Allah yang Allah dan Rasul-Nya kabarkan, yang mana sifat-sifat Allah ini jauh lebih utama dibandingkan surga dan neraka.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اللهُ : أَعْدَدَتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر، وَاقْرَأُوا إِنْ شِئْتُمْ فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Dari Abu Huroiroh, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Allah telah berfirman : Aku telah menyiapkan bagi hamba-hambaku yang sholeh (di surga) kenikmatan-kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata-mata, dan tidak pernah terdengar oleh telinga-telinga, dan tidak pernah terbetik dalam benak manusia”,

Jika kalian ingin maka silahkan bacalah (firman Allah) :

فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan” (QS As-Sajdah : 17) (HR Al-Bukhari no 3072 dan Muslim no 7310)

Namun begitulah Syaithan membuat syubhat, keragu-raguan, dan fitnah untuk menipu serta menyesatkan manusia. Sehingga mereka dengan kebid’ahan yang mereka anggap baik itu menolak manhaj Salaf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam menerima dan menetapkan sifat-sifat Allah subhaanahu wa Ta’ala, yang Allah dan
Rasul-Nya kabarkan.

Dan Ahlul bid’ah itu umumnya terjebak kepada logical fallacy “over statement” atau “Exaggeration” , hingga menuduh Ahlus Sunnah dengan tuduhan akan hal-hal yang tidak pernah mereka katakan sebagai “mujussimah” atau “musyabbihah” (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluq cipataan-Nya)

Dari penjelasan itu, maka berikut akan kami sebutkan beberapa sifat dzatiyyah dan fi’liyyah Allah yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Yang berat bagi Ahlul Bid’ah untuk menetapkannya apa adanya dengan berdasarkan manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

1. Sifat Dzatiyyah Wajah Allah


وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. [QS Ar Rahman : 27]
Lihat juga ayat-ayat Al Qur’an yang lain yang menyebutkan mengenai “wajah Allah” dalam QS Al Baqarah : 272, Ar Ra’du : 22, Ar Ruum : 38-39, dan Al Lail : 20. Khabar mengenai “wajah Allah” juga banyak disebutkan dalam Hadits-hadits Rasulullah yang Shohih.

2. Sifat Dzatiyyah Tangan Allah


قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ. ]ص: 75[

Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan Kedua Tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?". (Shad: 75)
Hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

« يد الله ملأى لا يغيضها نفقة سحَّاء الليل والنهار »

“Tangan Allah selalu penuh, tidak kurang karena memberi nafkah, dan selalu dermawan baik malam maupun siang". [Hr. Bukhari]

3. Sifat Dzatiyyah Jari jemari Allah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ummu Salamah,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“Wahai Ummu Salamah, Tidaklah seorang manusia melaikan hatinya selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi)

4. Sifat Dzatiyyah kaki Allah

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَحَاجَّتْ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَقَالَتْ النَّارُ أُوثِرْتُ بِالْمُتَكَبِّرِينَ وَالْمُتَجَبِّرِينَ وَقَالَتْ الْجَنَّةُ مَا لِي لَا يَدْخُلُنِي إِلَّا ضُعَفَاءُ النَّاسِ وَسَقَطُهُمْ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي وَقَالَ لِلنَّارِ إِنَّمَا أَنْتِ عَذَابِي أُعَذِّبُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِلْؤُهَا فَأَمَّا النَّارُ فَلَا تَمْتَلِئُ حَتَّى يَضَعَ رِجْلَهُ فَتَقُولُ قَطْ قَطْ فَهُنَالِكَ تَمْتَلِئُ وَيُزْوَى بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ وَلَا يَظْلِمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ خَلْقِهِ أَحَدًا وَأَمَّا الْجَنَّةُ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنْشِئُ لَهَا خَلْقًا ).

'Surga dan neraka saling berdebat. Neraka berkata, 'Aku mendapatkan orang-orang yang sombong dan bengis.' Lalu surga berkata, 'Mengapa saya hanya dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan rendah.'
Allah Tabaraka wa ta'ala berkata kepada surga, 'Engkau adalah rahmat-Ku, denganmu aku rahmati hamba-Ku yang aku suka.'

Lalu Dia berkata kepada neraka, 'Engkau adalah azab-Ku, denganmu aku mengazab hamba-Ku yang aku suka.'
Setiap dari keduanya akan penuh.

Adapun neraka tidak akan penuh kecuali setelah Allah meletakkan kaki-Nya, baru dia berkata, 'cukup', 'cukup' maka ketika itu neraka akan penuh dan neraka satu sama lain akan terlipat, dan Allah tidak akan menzalimi makhluknya satupun. Adapun surga Allah akan ciptakan makhluk untuknya."

Dalam redaksi Muslim disebutkan, "Adapun neraka, tidak penuh kecuali setelah dia meletakkan kaki-Nya di atasnya."
[Hr. Bukhari – Muslim]

5. Hadits Allah menciptakan nabi Adam dalam Shuroh-Nya (bentuk Nya)


عن أبي هُرَيْرَةَ َقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ وَهُمْ نَفَرٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ جُلُوسٌ فَاسْتَمِعْ مَا يُجِيبُونَكَ فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ قَالَ فَذَهَبَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالُوا السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ قَالَ فَزَادُوهُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ قَالَ فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدَهُ حَتَّى الْآنَ

“Dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah menciptakan Adam dalam bentuk-Nya, tingginya emam puluh hasta.

Maka ketika Allah telah menciptakannya Allah berfirman: “Pergilah dan ucapkan salam kepada mereka- yaitu sekelompok malaikat yang sedang duduk- dan dengarlah apa jawab mereka kepadamu, sesungguhnya itu adalah salam (penghormatan) mu dan keturunanmu.

Maka pergilah Adam dan mengucapkan (salam kepada malaikat) : Assalamu’alaikum. 
Mereka menjawab: “Assalamu ‘alaika warohmatulloh” maka malaikat menambah dalam jawaban: “warahmatulloh”

Bersabda Rasulullah : Semua orang yang masuk jannah berada dalam bentuk Adam, tingginya enampuluh hasta, dan terus-menerus anak adam berkurang tingginya hingga saat ini.” [H.R. Muslim]

6. Sifat Fi’liyyah Allah tertawa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَضْحَكُ اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ يَدْخُلَانِ الْجَنَّةَ، يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلُ، ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيُسْتَشْهَدُ

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
“Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lain, sedangkan kedua-duanya (akhirnya) masuk surga. Orang yang satu berperang di jalan Allah, lantas ia terbunuh (di tangan laki-laki kedua). Kemudian Allah menerima taubat si pembunuh (karena masuk Islam), lalu si pembunuh tadi akhirnya juga mati syahid (di jalan Allah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2826, Muslim no. 1890, An-Nasaa’iy no. 3165, dan yang lainnya].

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serta hadits-hadits yang shohih mengenai sifat dzatiyyah dan fi’liyyah Allah, yang semisal.

Terakhir, mari kita kutip perkataan para ulama mengenai manhaj Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah sifat-sifat Allah ini.

Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah (guru dari Al-Imam Al-Bukhariy rahimahullah) berkata :

وما أشبه هذا من القرآن والحديث، لا نزيد فيه ولا نفسره. نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة. ونقول : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى)، ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي.

“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini, maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :

وقال بشر بن موسى: ثنا الحميدي، وذكر حديث " إن الله خلق آدم على صورته " .
فقال: لا تقول غير هذا على التسليم والرضا بما جاء القرآن والحديث. لا تستوحش أن تقول كما القرآن والحديث.

“Dan telah berkata Bisyr bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy, dan ia (Al-Humaidiy) menyebutkan hadits : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya’. Beliau berkata : ‘Kami tidak mengatakan yang lain selain ini dikarenakan sikap taslim (berserah diri) dan ridla dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan tidak merasa berat untuk mengatakan sebagaimana yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits” [Taariikhul-Islaam, juz 7; Maktabah Ruuhil-Islaam].

Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary rahimahullah berkata :

وأن له سبحانه وجها بلا كيف، كما قال: (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام). وأن له سبحانه يدين بلا كيف، كما قال سبحانه: (خلقت بيدي)، وكما قال: (بل يداه مبسوطتان). وأن له سبحانه عينين بلا كيف، كما قال سبحانه: (تجري بأعيننا).

“Dan bahwasannya Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahman : 27).

Dia juga mempunyai dua tangan tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, sebagaimana firman-Nya : “Yang telah Ku-ciptakan dengan dua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) dan firman-Nya : “…..tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64).

Dan Dia subhaanahu juga mempunyai dua mata tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, dengan dalil firman Allah subhaanahu : “Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].

Syaikhul-Islam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata :

ولا يعتقدون تشبيهاً لصفاته بصفات خلقه ، فيقولون: إنه خلق آدم بيديه ، كما نص سبحانه عليه في قوله عزّ من قائل: قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ، ولا يحرفون الكلم عن مواضعه ، بحمل اليدين على النعمتين أو القوتين ، تحريف المعتزلة والجهمية أهلكهم الله ولا يكيفونهما بكيف، أو يشبهونهما بأيدي المخلوقين، تشبيه المشبهة خذلهم الله

“Mereka (Ahlul-Hadits) tidak meyakini sifat-sifat itu dengan cara menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah ta’ala telah menciptakan Adam ‘alaihis-salaam dengan dua tangan-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Allah berfirman : ‘Hai Iblis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75).

Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak menyimpangkan Kalamullah dari pengertian yang sebenarnya,
(dan) mengartikan kedua tangan Allah sebagai dua kenikmatan atau dua kekuatan sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazillah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - .

Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak me-reka-reka bentuknya dan menyerupakannya dengan tangan makhluk-makhluk, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Musyabbihah – semoga Allah menghinakan mereka –“
[‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuni, hal. 26, tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415.]

Al-Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaniy rahimahullah berkata :

اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب (على) الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في صفة الرب عزّ وجلّ من غير تغيير ولا وصف ولا تشبيه، فمن فسر اليوم شيئًا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وفارق الجماعة فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا لكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا. فمن قال بقول جهم فقد فارق الجماعة لأنه قد وصف بصفة لا شيء.

“Para fuqahaa’ semuanya dari wilayah timur sampai barat telah sepakat untuk beriman kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal shifat Rabb ‘azza wa jalla tanpa mengubah (ta’wil/tahrif), menyebutkan kaifiyah sifat-Nya, dan menyerupakan dengan makhluk-Nya.

Barangsiapa menafsirkannya pada hari ini tentang sifat-sifat Allah tersebut, sungguh ia telah keluar dari apa-apa yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya dan memisahkan diri dengan jama’ah. Sesungguhnya mereka (para fuqahaa) tidak menafsirkan (tentang sifat Allah), namun mereka berfatwa dengan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kemudian diam.

Barangsiapa yang berkata dengan perkataan orang Jahmiyyah, berarti ia telah memisahkan diri dengan jama’ah, karena ia telah mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak ada” [Syarh Ushuul I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’iy, hal. 432-433 no. 740, tahqiq Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan; Desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].

Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah berkata :

أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا شيئا من ذلك . وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أقر بها نافون للمعبود

“Ahlus-Sunah bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada makna majaz. Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) atas sifat-sifat tersebut.

Adapun golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij; mereka semua mengingkarinya dan tidak memberikan pengertian pada makna hakikatnya. Mereka (Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Khawarij) menganggap orang-orang yang menyepakati hal tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah) sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Adapun mereka (yang mengingkari sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah adalah golongan orang yang meniadakan Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401]

Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah :

إنما يكون التشبيه إذا قال : يد مثل يدي أو سمع كسمعي، فهذا تشبيه. وأما إذا قال كما قال الله : يد وسمع وبصر، فلا يقول : كيف، ولايقول : مثل، فهذا لا يكون تشبيهاً، قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].

Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah :

من شبه الله بخلقه، فقد كفر، ومن أنكر ما وصف به نفسه فقد كفر، وليس ما وصف به نفسه، ولا رسولُه تشبيهاً

”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad shahih].

12 Januari 2017
Kautsar Amru