Assalamu'alaikum!

Blog Sunnah

"Memurnikan Aqidah, Menebarkan Sunnah".

Looking for something?

Subscribe to this blog!

Receive the latest posts by email. Just enter your email below if you want to subscribe!

Saturday, May 30, 2015

Ustadz Aan Chandra Thalib - Januari 2013


29 Januari 2013

Saudaraku…..

Seorang suami laksana nahkoda dalam sebuah kapal, dia harus pandai memainkan peran, dapat menjadi panutan dan cerdas melihat situasi, agar orang bersamanya merasa aman, tenang dan nyaman. Ia juga harus memiliki azam yang kuat dalam menjalankan perannya. Seburuk apapun situasi dan kondisi yang dihadapinya, ia harus tenang, sabar, dan berserah diri pada Allah dengan tetap melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan maslahat untuk keluargannya di dunia dan akhirat. Obsesinya semata-mata mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.

Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, seorang suami hendaklah selalu berusaha mencari karunia Allah dengan tidak melupakan tugas pokonya sebagai hamba Allah. Allah ta'ala berfirman: “carilah anugrah Allah untuk kehidupan akhirat, tetapi jangan lupa nasib (bagian)mu untuk kehidupan dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik padamu”. Dan hendaklah ia berusaha agar harta yang ia nafkahkan untuk istri dan anak-anaknya berasal dari sumber yang diridhai Allah azza wa Jalla.

Saudariku…..

Ketahuilah.. Dalam keluarga, istri merupakan tempat berteduh bagi sang suami, dengannya ia akan merasakan ketentraman, sebab Allah ta'ala telah menciptakannya untuk menjadi tempat berteduh bagi suaminya sebagaimana para suami telah ditaqdirkan untuk menjadi Qawwam (pelindung/pengayom) bagi istrinya.

(Cuplikan dari tulisan kami tentang nasehat pernikahan)

27 Januari 2013

KAPAN KITA MERASA KECIL ???

"Saya lebih menghargai para da'i yang rela berdakwah di pedalaman, di tempat yang mesti didaki dengan berjalan kaki, di gunung-gunung, menelusuri tempat2 terpencil. Saya lebih menghargai jerih payah dan cucuran keringat mereka dibanding da'i-da'i yang enak2an dijemput mobil, dan makan di restoran".

Jika pagi hari ini kita bisa makan enak, maka ketahuilah....!! Sebagian dari mereka para da'i di pedalaman itu masih berfikir mau makan apa hari ini ?

Mereka meninggalkan gedung-gedung tinggi di kota, meninggalkan hiruk pikuk jalan raya, meninggalkan mobil jemputannya yang mewah, mereka rela berjalan kaki ke masjid-masjid kecil, ke majelis ilmu, sekedar untuk menyebarkan dakwah menyampaikah hidayah dan menunaikan amanah ilmiah.

Mereka tidak meminta banyak dari perjuangannya, namun berharap doa yang tulus agar mampu istiqomah dan ikhlas dalam berdakwah agar hidayah ini tidak hanya menjadi miliknya semata.

Sampai kapan mereka berdakwah ?

Sampai tubuh berbungkus kain putih, sampai habis umur ini insyaALLAH, demi menjaga hitam tinta para ulama, demi menghormati merah darah para syuhada'.

Mereka rela hidup sederhana di saat teman2 kecilnya telah bermegah-megah membangun rumah, bersuka cita berpakaian mewah.

Mereka berdakwah dengan rasa takut dan harap, takut jika dakwah ini belum sampai saat masyarakatnya tiba2 kembali kehadhirat Allah. Berharap agar upayanya dalam dakwah tak sia2, dan meraih surgaNYA.

Tidakkah kita malu,,?
Tidakkah kita haru,,?

Namun, maaf, kami tidak butuh ustadz yang terkenal namun tak bisa menghargai dirinya sendiri sebagai orang yang berilmu.

Maaf, kami hanya butuh sosok yang berilmu dan merelakan tangannya untuk terkotori tangan2 masyarakat kami yg baru pulang dari sawah dan kebun.

Maaf, kami hanya butuh sosok yang berakhlak dan merelakan tubuh mereka untuk berpelukan dengan tubuh masyarakat kami yg dekil dan tanpa minyak wangi.

Maaf, kami hanya butuh sosok yg pandai beramal dan tak hanya bisa berkata dan menulis tanpa praktek nyata.

Maaf, kami hanya butuh sosok da'i yang tak hanya menunggu dijemput namun mengikhlaskan kakinya utk berjalan sendiri.

Maaf, kami tak terlalu butuh sosok yang prestisius ataupun bergelar tinggi yang membuat kami tercengang dan berdecak kagum, kami hanya menginginkan mereka yang memiliki kesabaran tatkala mendidik kami, membimbing kami pada hidayah, dan menyisakan airmatanya utuk mendoakan kami.

Takutkah kita pertolongan Allah tak akan datang di pedalaman? Di puncak-puncak gunung? Di tepi2 pantai ? hingga kita enggan berdakwah di tempat-tempat itu..? Ingatkah kita, bahwa pertolongan Allah tak hanya di barat, pertolongan Allah tak hanya di timur, pertolongan Allah tak hanya di selatan, pertolongan Allah tak hanya di utara, pertolongan Allah tak hanya di kota.

Iya, Pertolongan Allah utk mereka yang mau menolong agamanya.

Akhirnya…
Tersisa beragam tanya untuk diri ini…?
Sudahkah kita menolong agamaNya ?
Sudahkah kita berletih dan berpeluh untuk islam?
Sudahkah kita meneteskan air mata utk dakwah ini ?
Sudahkah kita membasuh keringat karena perjuangan kita utk islam?
Ataukah keringat itu tak pernah bercucur, darah itu tak pernah mengalir, letih itu tak pernah ada, lelah itu sudah sirna ?
Dan apakah mereka yang berdakwah di pedalaman berwajah penuh kecemasan terhadap masa depan dunianya?

Tidak, bahkan wajah mereka berseri-seri, semoga Allah mencerahkan wajah-wajah mereka yang telah menyebarkan apa-apa yang keluar dari mulut suci Rasulullah, semoga Allah memutihkan wajah-wajah mereka tatkala wajah-wajah manusia menjadi hitam legam pada hari dibangkitkan.

Betapa kerdilnya diri ini di hadapan mereka yang tak pernah lelah…
Betapa kecilnya diri ini di sisi mereka yang tak pernah berhenti…
Betapa diri ini belum berbuat apa2.

Ditulis kembali dengan sedikit perubahan atas izin dari Abu Uwais Mubaarok Ad-Dimakiy

Madinah 15-3-1434 H


26 Januari 2013

Hanya jiwa-jiwa yang memiliki keimanan yang jujurlah yang dapat menikmati lezatnya ukhuwwah, manisnya persaudaraan, indahnya ke-akuran. Karena Allah berfirman: innamal mu_minuuna ikhwah (al-Hujurat: 10).

Namun bukan keimanan yang palsu, yang lemah, yang mudah ambruk lalu enggan bangkit. Keimanan yang dimaksud adalah keimanan yg jujur, yg diiringi istiqomah dalam keimanan tersebut, seperti sabda Nabi: qul aamantu billah tsumastaqim (muslim).

Keimanan yg jujur inilah yg membuahkan ukhuwwah, senang jk saudaranya mendapat hidayah, senang jk saudaranya ishlah, senang jika saudaranya akur, senang jk saudaranya mengajarkan aqidah, senang jika sudaranya menutup mulut dari ghibah, senang jika dakwah saudaranya penuh berkah.
Untuk mencapai itu, Allah ajarkan kita agar tdk seperti orang2 musyrik, yg mereka berpecah belah, setiap golongan bangga dg kelompoknya (liat ar-ruum: 32). Kenapa berpecah belah, karena keimanan mereka ternoda dg kegelapan yg menutup hatinya, karena keimanan mereka tdk jujur.

Abu Uwais Mubaarok Ad-Dimakiy
Sulawesi, 14 Robii'ul awwal 1434 H.


20 Januari 2013

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia".

Hadits di atas setidaknya memberikan penegasan pada kita, bahwa nilai-nilai estetis dan keluhuran adalah salah satu cabang penting dari misi kenabian. Tak berlebihan bila beliau shallahu alaihi wasalam memberi janji,"orang yang paling dekat kedudukannya dengan aku disurga nanti adalah yang paling baik akhlaknya."

Kediri 7 Rabi'ul awwal 1434 H


18 Januari 2013

Sahabat,,,

Tidak dipungkiri bahwa keluarga terbentuk karena cinta…
Namun… jika cinta yang engkau jadikan sebagai landasan, maka keluargamu akan rapuh, akan mudah hancur.

Tapi jadikanlah ” Keridhaan Allah ” sebagai landasan, niscaya engkau akan selamat tidak saja dunia, tapi juga akherat.

Jadikanlah ridho Allah sebagai tujuan. niscaya mawaddah (rasa cinta), rahmah(kasih sayang) dan sakinah (ketentraman) akan tercapai.

Wahai diri…
Jangan engkau menginginkan untuk menjadi raja dalam “istanamu", disambut istri ketika datang dan dilayani segala kebutuhan,
Jika ini kau lakukan ” istanamu ” tidak akan langgeng.

Lihatlah manusia teragung, Rasulullah shallahu alaihi wasallam. BeliauTetap tersenyum meski tidak mendapatkan makanan tersaji dihadapannya ketika lapar
Bahkan beliaupun menjahit sendiri sendal dan bajunya yang robek,
Lalu apakah engkau lebih mulia dari Rasulullah..???

Kediri 6 Rabi'ul awwal 1434 H


16 Januari 2013

Wahai diri...
Jadilah teladan dalam rumah tangga. Didiklah istrimu dengan baik, sebab dialah yang kelak akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anakmu. Jagalah ia dengan segala kemuliaannya, agar menjauhi ikhtilath (bercampur baur) dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

Ajarkan ia untuk menjauhi tabarruj (Bersolek) di depan orang lain selain dirimu.
Jagalah agar jangan sampai ia terjerumus dalam kerusakan akhlak dan agama.
Jangan pula engkau biarkan ia melanggar larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya
Ajarkan ia tentang shalat dan kewajiban-kewajiban agama lainnya.
Ajaklah ia bermusyawarah dalam segala hal dalam urusan rumah tangga..
Hargaialah ia atas segala pekerjaannya, dan jangan pernah engkau menghinakannya
Jika engkau mendapati kekurangan pada dirinya, ketahuilah bahwa Allah telah memberi ia kelebihan pada sisi yang lain.


10 Januari 2013

Kita boleh berhitung soal apa saja, tapi tidak soal taqdir.
Tersenyumlah sahabat...
Karena rizkimu tidak akan dimakan oleh orang lain,
Tulang rusukmu tidak akan tertukar,
Dan di akhirat kelak, engkau hanya akan ditanya tantang apa yang engkau amalkan, bukan tentang apa yang diamalkan oleh orang lain.

Tersenyumlah...
Walaupun semua tak seindah yang kau lukiskan.
Jika hari ini engkau tak bisa menjadi yang kau inginkan, maka ketahuilah bahwa engkau hanya akan berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain.
Dan di ujung semua goresan rencana itu, ada pena yang telah di angkat dan lembaran2 yang telah mengering.

Senayan, Kamis 28 Shafar 1434 H


8 Januari 2013

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia".

Hadits di atas setidaknya memberikan penegasan pada kita, bahwa nilai-nilai estetis dan keluhuran adalah salah satu cabang penting dari misi kenabian. Tak berlebihan bila beliau shallallahu 'alaihi wasalam memberi janji, "Orang yang paling dekat kedudukannya dengan aku disurga nanti adalah yang paling baik akhlaknya."

Logikanya, bila fiqih memberi batasan legalitas, maka akhlak dan moralitas memberi bobot yang luar biasa pada seni keindahan dalam hidup. Tak hanya sekedar batasan wajib yang sah dan legal saja, tapi ada pesona sunnah yang mempercantik dan membuatnya lebih berwarna. Seperti itulah ajaran agama yang hanif ini. Dan seperti itu pula pilihan hidup ini.

Jika barat berkoar-koar mengkampanyekan HAK ASASI MANUSIA, meskipun dalam definisi yang memiliki standar ganda, maka islam pada 14 abad silam telah mendeklarasikannya sebagai dustur kehidupan. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda :" Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling mengintip rahasia, saling bersaing (pada hal-hal yang negatif), saling mencari keburukan, saling menawar lebih tinggi sehingga menipu pembeli agar membayar lebih tinggi, saling memutuskan hubungan, saling bermusuhan, dan janganlah sebagian kalian menjual di atas penawaran orang lain. Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang di perintahkan Allah kepadamu. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menganiayanya, tidak boleh menelantarkannya dan tidak boleh menghinanya. Takwa itu ada di sini, takwa itu ada di sini, takwa itu ada disini kata Rasulullah Shallahu alaihi wasallam sambil menunjuk dadanya. Cukuplah merupakan keburukan bagi seseorang apabila ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lainnya adalah haram darahnya, kehormatannya dan hartanya (untuk di rusak dan ditumpahkan). Jauhilah prasangka buruk karna sesungguhnya prasangka buruk adalah sedusta-dustanya pembicaraan. Dan esungguhnya Allah tidak melihatmu pada bentuk rupa dan hartamu, tetapi Dia melihat hati dan perbuatanmu." (HR.Bukhari, Muslim)

Jangankan untuk menyakiti dalam bentuk fisik, ajaran islam yang paripurna bahkan telah mengajarkan ummatnya untuk tidak menjadi penyebab hidup orang lain menjadi pahit dan getir karena ulah lisannya. Keparipunaannya juga telah merubah serangkai senyum yang tadinya biasa menjadi amalan yang istimewa dan bernilain sedekah, "Senyummu terhadap saudaramu adalah sedekah", "Janganlah engkau meremehkan perbuatan yang baik, walaupun hanya dengan menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri".

Semua itu adalah aturan hidup yang tidak saja sebagai aturan konsistensi semata, tapi juga sebentuk seni yang memperindah kehidupan dalam merajut kebersamaan dengan pengharapan penuh akan pahala disisi Allah Azza wa Jalla.

Memang, terkadang sulit mewujudkan semua itu, sebab diujung perjuangan kita untuk merealisasikannya ada ujian yang paling besar, yaitu : DIRI KITA SENDIRI.

Madinah, Selasa 26 Shafar 1434 H
8 Januari 2013 M


7 Januari 2013

Sahabat....
Inilah potret ambiguitas kita.

Disatu sisi kita sering tidak siap dengan keputusan-keputusan Allah yang mengejutkan. Tetapi pada saat yang sama, kita juga malah merasa aman dari rencana dan makar Allah yang mengejutkan.
Dengan kata lain, kita takut tapi kita tidak menyiapkan diri. Kita kwatir tentang kesudahan hidup nanti, tetapi kita tidak mau menabung kebajikan sebagai bekal diri.

Akankah selamanya kita hidup dalam sikap yang berlawanan..?


5 Januari 2013

Dari seluruh pelajaran hidup, barangkali yang paling sulit adalah belajar mengenal diri sendiri secara jujur. Karena sering kali kesibukan kita dengan berbagai urusan membuat kita kita lupa untuk mengenal lebih jauh siapa diri kita.

Padahal, mengenal diri sendiri berarti mengerti dengan baik kelebihan dan kekurangan diri. Lalu dengan pengenalan itulah kita mencari jalan mana yang bisa memaksimalkan aspek positif kita dan jalan mana yang bisa meminimalisir keburukan kita.

Pengenalan yang baik terhadap diri akan membuat kita mengerti titik start yang pas bagi langkah awal untuk menjadi sesuatu, lalu kemana langkah itu kelak diakhiri.

Pengenalan terhadap diri juga kan membuat kita dengan mudah menekan ego ke-akuan yang selalu saja membuat jiwa merontak karena merasa lebih dari orang lain.

Ungkapan "semoga Allah merahmati orang yang mengetahui kadar kemampuan dirinya sendiri" setidaknya menggambarkan betapa pentingnya seseorang tahu dan mengerti siapa dirinya dan seberapa besar potensi yang dia miliki.

Agar kita tak selamanya terperangkap dalam sikap percaya diri yang berlebihan.

Madinah Al Munawwarah Sabtu 23 safar 1434 H


2 Januari 2013

Sahabat...

Tak ada yang lebih tulus dari cermin. Tempat mengaca sebagian kita diwaktu pagi.
Cermin selalu berbicara dalam puncak kejujurannya. Dia diam dan memberitahu apa adanya.

Ia tak pernah menyimpan dendam karena ketulusannya paripurna. Kita bisa merasa apa saja di depannya. Merasa hebat, cakep, cantik, ganteng atau apa saja. Bahkan kita bisa memanipulasi jiwa dan hati kita dengan apa saja, namun apa yang dia lihat dari kita akan ditampakkan apa adanya. Bila kita telah pergi, ia tidak akan menyimpan bayangan wajah kita di dalamnya.

Ketulusan memang pekerjaan hati, memerlukan seni untuk menatanya. Sebab ketulusan akan menjadi titik awal dalam etos amal kita. Seperti cermin yang tak boleh buram, maka ketulusan itu tak boleh ternodai oleh kepentingan-kepentingan lain, termasuk cara kita memaknai ketulusan itu, atau bahkan kepentingan lain yang mencari manfaat dari ketulusan itu.

Baarakallahu fiikum...

No comments:

Post a Comment